Selasa, 22 Maret 2011

Biz Kebab

Selasa, 18/01/2011 10:30 WIB
Modal Rp 55 Juta, Miliki Bisnis Kebab Turki Ala Baba Rafi  
Ninik Setrawati - detikFinance 



Foto: Kebab Turki Baba Rafi
Jakarta - Berawal saat Hendy Setiono pergi ke Timur Tengah dan menemui banyak penjual makanan khas Turki, yaitu kebab, ia memperoleh ide untuk mengembangkan usaha Kebab Turki di Indonesia.

Usaha ini dimulai pada 2003 dengan membuka outlet pertamanya di Surabaya. Modal awal yang dikeluarkan oleh Hendy saat itu sebesar Rp 4 juta yang ia gunakan untuk membeli gerobak (counter) dan peralatan lainnya seperti kompor dan penggorengan. 

Kendala di awal usaha diakui oleh Hendy terletak pada sulitnya menjaga kualitas (standar) daging sapinya karena masih memproduksi sendiri.

Kini, bekerjasama dengan PT Belfoods Indonesia, Hendy tak perlu kuatir dengan produksi daging untuk kebab, karena sudah ditangani oleh ahlinya. Sebab PT Belfoods Indonesia telah memenuhi standar yang telah dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat-obatan dan makanan (BPOM) dan memiliki sertifikat MUI.

Untuk mendistribusikan daging yang telah diproduksi oleh PT Belfoods Indonesia, Hendy mendirikan sebuah warehouse yang ia bangun di kota-kota besar, seperti Surabaya, Malang, dan Semarang.

Melalui warehouse inilah kemudian daging yang dibutuhkan didistribusikan lagi ke outlet-outlet yang tersebar di sekitarnya. Pengiriman daging ini dilakukan seminggu dua kali atau tergantung kebutuhan.  

"Kita sekarang fokus ke penjualan, untuk produksi dagingnya yang higienis dan sehat saya serahkan pada ahlinya," ungkap Hendy di counter Kebab Turki di kawasan Tebet, Jakarta, Senin malam (18/1/2011).

Mengenai kebutuhan daging sapi, Hendy mengungkapkan dalam sehari ia bisa menghabiskan sebanyak 1 ton daging sapi atau setara dengan 7 ekor sapi. Dengan adanya target dibuka sebanyak 1.001 outlet di 2011 ini, maka diperkirakan akan mengahbiskan 3 ton daging sapi/hari.

Untuk menjalankan seluruh outlet Kebab Turki Baba Rafi, sudah terserap sebanyak 1.200 tenaga kerja. Bisa dibayangkan usaha ini sangat prospektif untuk dikembangkan dan membawa banyak manfaat untuk menambah lapangan pekerjaan. 

Menu andalan Kebab Turki Baba Rafi adalah kebab yang dijual dengan harga Rp 12.000. Selain itu juga ada menu hotdog seharga Rp 10.000, beef burger Rp 9.500, dan menu lainnya. 

Untuk mengembangkan usahanya, sejak 2005 usaha Kebab Turki Baba Rafi dikelola secara Waralaba (franchise). Hingga 2011 ini, sudah resmi dibuka sebanyak 650 outlet. Namun, untuk daftar tunggunya sudah mencapai angka 750 outlet yang tersebar di seluruh Indonesia.

"Saya berharap hingga akhir 2011 ini sudah dibuka 1.001 outlet. Karena saya ingin mengenalkan kebab ke seluruh masyarakat Indonesia hingga ke wilayah kabupaten/kota. Selama ini kan makanan asing yang dikenal masyarakat hanya hotdog atau burger," imbuhnya.

Ternyata kesuksesan Kebab Turki Baba Rafi tidak hanya di Indonesia. Hendy telah menandatangani MoU dengan Filipina untuk membuka cabang di sana.

"Tahun 2011 ini realisasinya. Targetnya tahun ini bisa membuka 10 outlet dulu dan diharapkan bertambah setiap tahunnya," papar Hendy.

Usaha ini membuka peluang yang sangat luas. Jika Anda ingin mendulang kesuksesan yang sama, Kebab Turki Baba Rafi membuka kesempatan yang lebar.

Dengan modal awal Rp 55 juta, Anda akan mendapatkan 1 set lengkap yang terdiri dari counter dan peralatan lainnya (misal penggorengan dan alat pemanggang daging), karyawan yang sudah dilatih, dibantu mencari lokasi usaha, masa kerja selama 5 tahun, manual book (SOP), paket promosi (misal banner, neon box), dan lain-lain. Hendy mengungkapkan bahwa dalam jangka waktu 18 bulan sudah bisa balik modal.

"Omzet 1 outlet biasanya sekitar Rp 10-Rp 15 juta per bulan, bahkan ada yang mencapai Rp 60 juta, tergantung dari lokasi usahanya. Usaha ini sangat prospektif untuk dikembangkan karena semakin lama makanan kebab banyak dikenal masyarakat," pungkasnya. (nin/qom) 

Biz Jus

Senin, 17/01/2011 11:13 WIB
Manisnya Bisnis Sederhana Ala 'Orie Jus'  
Ninik Setrawati - detikFinance 



Foto: Ninik-detikFinance
Jakarta - Menjalankan usaha minuman dari buah atau jus jadi bisnis biasa. Namun jika dijalankan dengan sungguh-sungguh dengan kualitas yang terjaga, maka bisa digemari banyak orang. Cara inilah yang dijalankan Diana Farida lewat 'Orie Juice'.

Diana memulai usaha jus buah yang diberi nama 'Orie Juice' di 2002. Ide ini berawal ketika ia ingin menyajikan jus seenak yang dibuat oleh mama atau ibu di rumah. Oleh sebab itulah ia memilih usaha ini.

Modal awal yang dikeluarkan Farida bisa dibilang cukup murah, yaitu Rp 1.500.000. Modal itu ia gunakan untuk membeli etalase, blender, dan perangkat lainnya seperti buah, gelas, dan sedotan.

Jus buah yang ditawarkan oleh Diana ada 3 macam, yaitu jus 1 rasa buah, 2 rasa buah (jus poligami), dan 3 rasa buah (jus pelangi). Harga yang ditawarkan-pun cukup ringan di kantong.

Untuk jus 1 rasa, harganya dibanderol Rp 5.000, misalnya jambu, tomat, dan apel. Untuk jus 2 dan 3 rasa, pelanggan boleh memilihnya sendiri. Harga yang ditawarkan juga tak kalah ringan. Untuk jus poligami, harganya adalah Rp 8.000 sedangkan jus pelangi harga yang ditawarkan adalah Rp 10.000.

"Selama saya berjualan, prospek usaha ini sangat bagus karena banyak peminatnya. Apalagi jus buah kan sehat jadi banyak yang akhirnya berlangganan pada saya, misalnya pegawai di Nurul Fikri yang setiap hari memesan," ungkap wanita berusia 43 tahun ini ketika ditemui di tempatnya berjualan di kawasan Margonda, Depok, Sabtu (17/1/2011).

Disinggung mengenai usahanya yang kian laris tersebut, Diana mengatakan kunci suksesnya terletak pada rasa dan keramahan yang selalu ia berikan kepada pelanggan.

Diana menjamin jus yang ia jual komposisinya lebih banyak buah daripada airnya. Ia juga tidak menggunakan pemanis buatan serta menggunakan air galon Aqua asli, jadi rasanya benar-benar terjamin. Selain itu, buah yang dipakai juga bukan buah yang matang. Ia selalu memilih buah yang setengah matang karena rasanya lebih terjaga.

"Jangan menggunakan buah yang matang, rasanya pasti beda. Saya selalu menggunakan buah segar dan komposisi buahnya lebih banyak dibanding airnya. Takaran airnya hanya 1 cm untuk buah yang mengandung banyak air. Selain itu, cup-nya juga besar yang berukuran 16 cm. Jadi pelanggan puas minum jusnya," imbuhnya.

Selain karena komposisi buahnya lebih banyak, keunggulan lain yang ditawarkan oleh Orie Jus bila dibandingkan usaha sejenis di sekitarnya adalah jam buka Orie Juice hingga pukul 23.00 WIB. Jadi, bagi pelanggan yang pulang malam-pun bisa mampir untuk membeli jus.

"Biasanya kalau yang lain kan tutupnya jam 20.00 atau 21.00, saya tutupnya jam 23.00. Sampai jam 23.00 juga masih ada yang beli,” tambah Diana.

Lokasi usaha yang dipilih Diana berada di sekitar kampus UI Depok.

Ketika disinggung mengenai kendala usaha, apalagi jika lokasi usaha dekat dengan kampus yang sebagian besar pelanggannya adalah mahasiswa, Diana mengatakan ia tidak kuatir walaupun kampus sedang libur. Hal ini dikarenakan lokasi usaha yang dipilih Diana juga berada di pinggir jalan.

"Saya nggak kuatir kampus libur atau tidak karena pelanggan saya bukan hanya mahasiswa. Lokasi usaha saya kan di pinggir jalan, jadi siapapun bisa membeli," terang Diana.

Yang menjadi kendala utama Diana akhir-akhir ini adalah adanya iklim yang tidak menentu, yang lebih didominasi oleh hujan.

"Kalau musim hujan pembeli sepi. Karena musim hujan udaranya kan dingin, jadi pelanggan agak malas membeli minuman yang dingin," imbuhnya.

Kini, usaha jus buah yang didirikan Diana sejak 2002 berbuah manis. Puluhan pelanggan siap mengantre untuk dapat meneguk segarnya Orie Juice. Dalam satu hari, ketika sedang sepi saja Diana masih bisa memperoleh omzet sekitar Rp 200.000, sedangkan saat ramai, Rp 350.000 bisa ia kantongi setiap harinya.

Info Lebih Lanjut Hubungi:
Diana Farida
Jl. Margonda Raya, No. 521
Depok

Biz Bebek

Kamis, 03/02/2011 18:30 WIB
Sukses Berternak Bebek Ala 'Dewa Duwe Duck'  
Suhendra - detikFinance 



Dewa Gede Putra Darmada (Foto: Suhendra)
Jakarta - Anda ingin sukses terjun di bisnis peternakan bebek? Sukses yang direngkuh Dewa Gede Putra Darmada ini mungkin bisa menjadi salah satu inspirasi Anda. Semua orang pun sepertinya bisa melakukan karena modal sangat minim dan bisa mengantarkan anda menjadi peternak bebek yang sukses.

Adalah Dewa Gede Putra Darmada, pemuda kelahiran Gianyar, Bali 21 September 1984 yang memulai usaha berternak bebek (Bali) sejak tahun 2009 dan kini sudah berhasil menangguk sukses. Dewo panggilan akrab Dewa Gede, mengatakan, untuk sukses dibisnis ini tidak lah susah, yang penting kata dia seorang peternak harus senang lebih dahulu dengan bebek sehingga punya rasa memiliki terhadap bebek.

Sesuai dengan nama bendera usahanya Dewa Duwe Duck yang berarti Dewa Punya Bebek, Dewo berhasil menjadi penyuplai bebek potong di wilayah Gianyar Bali dan sekitarnya. Bisnis usahanya hanya dimulai dari modal Rp 50.000 saja.

"Sejak awal saya memang senang dengan bebek, saya selalu senang melihat bebek," kata Dewo kepada detikFinance beberapa waktu lalu.

Dewo yang memang punya keluarga usaha pemotong hewan, awalnya cuma iseng-iseng membeli 10 ekor bebek anakan seharga Rp 30.000, lalu ia juga membeli konsentrat seharga Rp 20.000 untuk pakannya.

Walhasil tak disangka, bebek peliharaannya tumbuh kembang dengan cepat, dalam tempo 2 bulan ia berhasil memanen hasil jerih payahnya seharga Rp 500.000. Semenjak itu lah, ia semakin bersemangat memutar uangnya, yang akhirnya membawanya menjadi penyuplai 1200 ekor bebek per bulan di wilayah Bali dengan omset puluhan juta per bulan.

"Margin dibisnis bebek itu sekali panen bisa berlipat-lipat," kata Dewo yang merupakan salah satu peserta wirausaha Mandiri itu.

Ia kini sudah memiliki 4 buah kandang dengan masing-masing ukuran 4x6 meter, dimana setiap kandang bisa menampung 500 ekor bebek. Setiap dua minggu sekali ia mendatangkan bibit dari Badung Bali, sehingga panen bebek ia bisa lakukan setiap seminggu sekali.

Untuk urusan kandang, Dewo punya tips bagi yang mau memulai usaha bebek, yaitu usahan disiapkan kolam kecil di areal kandang untuk keperluan bebek mandi setiap harinya.

Hal ini penting agar kondisi bebek bisa terus bersih dan tak berbau. Mengenai bau, Dewo juga punya tips jitu agar kandang bebeknya tak mengganggu tetangga sebelah.

Syaratnya setiap pemberian pakan pagi dan sore,  ia mencampurkan daun pepaya secukup agar kotoran bebek tak berbau. Daun pepaya juga berkhasiat membuat daging bebek akan lebih empuk jika dimasak, meskipun ia mengingatkan porsinya diberikan secukupnya karena daun pepaya memiliki rasa pahit yang tinggi.

Mengenai pakan bebek, selama ini ia hanya mengandalkan pakan bebek dari sisa makanan nasi restoran disekitarnya yang ia dapatkan cuma-cuma. Selain itu, yang terpenting harus ada campuran sayur yang bisa diperoleh dari sisa-sisa di pasar plus dicampur gedebong (pelepah) pisang yang dicacak yang sudah direbus.

"Berdasarkan pengalaman saya, bebek itu unggas yang tahan penyakit, dikasih makan apa saja mau. Tingkat kematiannya pun jauh dibawah 10%," katanya.

Untuk tetap menjaga kesehatan bebek terhadap penyakit yang sering menimpa bebek seperti flu, Dewo juga punya tips ampuh untuk mengobati bebek dari flu yaitu dengan memberikan campuran daun mengkudu dalam adonan pakan bebek.

"Berdasarkan hitungan saya biaya produksi untuk satu ekor bebek hingga panen termasuk karyawan hanya Rp 14.000," imbuhnya.

Ia juga menuturkan berternak bebek begitu menggiurkan, khususnya di Bali banyak masyarakat yang masih berternak bebek hanya sambilan yang hanya dijual ke pengumpul. Sementara konsep yang ia kembangkan adalah berternak bebek secara total dengan tidak melepas bebek namun dikandangkan dalam jumlah besar sehingga tingkat pertumbuhannya sangat cepat.

"Kalau saya langsung pasarkan ke konsumen seperti restoran, pecel lele, rumah makan, pendeta dan lain-lain," ujar Dewo.

Bahkan kata Dewo, jika dibandingkan berternak ayam, dari sisi harga, harga bebek cenderung tidak pernah turun dengan harga jual yang cukup bagus. Saat ini ia menjual bebeknya bervariatif, misalnya bebek dibawah 1 Kg dengan usia satu bulan khusus untuk pecel lele  dijual Rp 25.000-30.000 per ekor, umur 2 bulan dijual Rp 35.000, hingga paling besar dijual Rp 60.000 per ekor untuk usia 3 bulan keatas.

"Terus terang saja, saya sekarang kewalahan meladeni permintaan, di wilayah Ubud saja permintaan pasar 1000 ekor per hari. Saya baru bisa suplai 100,"kata pemuda lulusan S-1 Peternakan Kampus Marwa Dewa ini.

Lewat keuletan dan keseriusannya ini, ia kini menikmati bisnisnya yang terus berkembang. Setidaknya ia sudah mandiri membangun kandang senilai Rp 14 juta di pekarangan rumahnya, bahkan Dewo sudah memiliki kendaraan mobil pick up sendiri untuk menopang kegiatan usahanya.

Intinya kata dia berbisnis ternak tidak lah susah, jika ada kemauan pasti bisa sukses. Untuk urusan modal, ia telah membuktikan bahwa memulai bisnis tak melulu merogoh kocek tebal.

"Dengan pakan sampah, kita menghasilkan produksi yang tinggi. Berternak tak selamanya pakai dana besar," tutur pengusaha muda usaha Mandiri yang memiliki 6 karyawan ini.

Potensi pasar bebek menurutnya tidak hanya di Bali saja, dibanyak daerah termasuk di Jawa peluang ini selalu ada. Permintaan terhadap bebek khususnya untuk sajian restoran terus meningkat.

Khusus untuk di Bali, bebek selain digunakan untuk pangan di restoran, bebek sering dipakai untuk pengganti angsa sebagai keperluan ibadah para pendeta Hindu. Terutama bebek putih, yang melambangkan kesucian terkait dengan Dewa Brahma.

Bagaimana mau mencoba, ternak bebek ala Dewo?

Dewa Duwe Duck

Dewa Gede Putra Darmada

Jl. Ida Bagus Mantra 
Br. Pabean, Ketewel, Sukawati, Gianyar, Bali.

Biz Eceng Gondok

Kamis, 27/01/2011 10:28 WIB
Iseng Sulap Enceng Gondok, Jadi Bisnis Beromzet Jutaan Rupiah  
Ninik Setrawati - detikFinance 



Jakarta - Enceng gondok yang sering dianggap sebagai tanaman pengganggu bagi para petani, tidak demikian halnya bagi Rafi Hartono, pemilik Geni Art. Melalui keuletannya, enceng gondok tersebut disulap menjadi produk kreatif yang dapat mendatangkan pundi-pundi rupiah ke kantongnya. 

Usaha kreatif Geni Art dimulai oleh Rafi sejak 2004. Modal awal yang ia keluarkan bisa dibilang sangat kecil, yaitu Rp 45.000. Uang ini ia gunakan untuk membeli perlengkapan gambar, misal penggaris, cutter, dan pensil.

Ide cemerlang untuk memanfaatkan enceng gondok ia temukan secara tak sengaja. Saat itu ia beserta teman-temannya sedang bermain di rawa. Di rawa itulah ia menemukan enceng gondok untuk kemudian dibuat mainan mobil-mobilan sejenis bemo.

"Setelah jadi mobil-mobilan, kita letakkan mainan itu di pinggir jalan dengan harapan ada orang yang tertarik saat melihatnya. Waktu itu kita belum tahu harus ke mana memasarkan produk ini," ungkap Rafi kepada detikFinance pekan lalu dalam acara 'Wirausaha Bank Mandiri'.

Harapan Rafi dan temannya terkabul. Suatu ketika datang seseorang yang menawar mobil-mobilan tersebut. Beberapa waktu kemudian, ia didatangi oleh Dinas Pemuda dan Olahraga Semarang dengan tujuan membantu pemasaran dan pemberian dana usaha.

Produk kreatif yang ditawarkan oleh Geni Art diantaranya adalah lokomotif kereta yang dijual dengan harga Rp 375 ribu, mobil bemo Rp 85 ribu, kotak tissue seharga Rp 35 ribu, dan tutup lampu Rp 60 ribu.

Dalam soal pemasaran, Rafi mengaku tidak mengalami kesulitan. Ia mengatakan membuat produk apa saja pasti akan laku, karena produk kreatif buatannya banyak diminati oleh pembeli. Justru yang menjadi kendala utama usahanya adalah terbatasnya SDM yang kreatif.

"Kalau SDM sebenarnya banyak, tapi yang kreatif itu yang sulit mencarinya," ungkapnya.

Kendala lain yang diungkapkan oleh Rafi adalah menciptakan model atau produk terbaru bagi usahanya. Selama ini ia menciptakan model terbaru melalui ide kreatifnya sendiri dengan melakukan berbagai percobaan atau melalui internet.

Mengenai modal, Rafi juga tidak kuatir, karena saat ini ada bank yang bisa memberikan modal bagi usaha kreatif miliknya. Bank yang disebut oleh Rafi adalah Bank Mandiri.

"Modal bisa dibilang tidak ada masalah. Untuk meminjam pun tidak terlalu sulit. Sekarang sudah ada bank yang percaya pada kerajinan enceng gondok yang ada di tempat kami, jadi agak mudah kalau mau meminjam," imbuhnya.

Mengenai suplai bahan baku yang biasanya dikeluhkan oleh para pengusaha, Rafi tidak mempersoalkan masalah tersebut. Bahan baku enceng gondok bisa ia peroleh dengan mudah, karena di tempat tinggalnya berdekatan dengan rawa yang memang banyak terdapat enceng gondok.

Jika dulu ia mencari sendiri enceng gondok tersebut, kini ia mengerahkan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan eceng gondok itu. Biasanya ia membeli Rp 3.500/kg enceng gondok kering atau Rp 1.500/kg untuk enceng gondok basah.

Agar enceng gondok bisa dipakai, enceng gondok harus dalam kondisi kering. Jika ingin ecneng gondok yang berbentuk lembaran, maka pertama-tama kupas enceng gondok untuk dibuang isinya. Setelah itu baru kemudian dijemur.

Proses pengeringan biasanya memakan waktu selama 3 hari. Yang perlu diingat dalam proses pengeringan adalah jangan sampai enceng gondok bersentuhan dengan tanah karena akan menimbulkan jamur. Jika sudah demikian, maka enceng gondok tidak bisa dipakai lagi.

Isi enceng gondok ternyata juga tak kalah bermanfaat dibanding kulitnya. Isi enceng gondok yang telah dihancurkan kemudian dicampur dengan lem ternyata juga bisa bermanfaat untuk membuat produk kreatif.

Setelah berbentuk bubur dan dicampur dengan lem, cetak bubur tersebut sesuai keinginan. Salah satu produk Geni Art yang terbuat dari bubur isi enceng gondok adalah tutup kampu.

Dengan ide kreatif dan larisnya pembeli, dalam sebulan Rafi bisa memperoleh omzet sekitar Rp 8 juta/bulan. Pengeluaran yang dikeluarkan untuk usaha ini-pun tidak terlalu besar. Untuk memenuhi permintaan konsumen, dalam sebulan Rafi bisa menghabiskan 150 kg enceng gondok, 10 kaleng lem (30 kg/kaleng), dan 50 kertas daur ulang.

Rafi berharap agar usaha kreatif enceng gondok semakin berkembang dan diharapkan dapat mengurangi jumlah pengangguran. Kini, Rafi telah memiliki showroom sendiri di rumahnya. Ia berharap kelak showroom tersebut bisa digunakan sebagai tempat untuk mengumpulkan berbagai hasil kerajinan kretaif di tempatnya.

"Saya ingin agar desa saya menjadi sentra kerajinan enceng gondok dan bisa dikenal hingga ke luar negeri," pungkasnya.

Jika Anda mempunyai ide kreatif, munculkan ide Anda dalam bentuk sebuah produk. Jika sudah demikian, maka Anda akan mendulang kesuksesan yang sama seperti Rafi Hartono, pemilik Geni Art.

Info lebih lanjut hubungi:
Rafi Hartono
Sidosari, Rt 12/02 Kuwarasan
Kec. Jambu Kab. Semarang, Jawa Tengah
Email: geni_artcollections@yahoo.co.id

Biz Jabon

Senin, 21/02/2011 10:32 WIB
Memetik Uang dari Investasi Pohon 'Jabon'  
Suhendra - detikFinance



Pohon Jabon (Foto: Hen/detikFinance)

Jakarta - Pilihan investasi sektor kehutanan belum banyak dilirik oleh masyarakat luas. Termasuk investasi menanam pohon jabon. Padahal jika ditekuni, hasil investasi jabon ini tak kalah menggiurkan.

Istilah Jabon mulai familiar dikalangan masyarakat beberapa tahun terakhir. Kepopuleran jabon seakan menenggelamkan pohon sengon yang sebelumnya sudah banyak dikembangkan.

Jabon sering diplesetkan dengan istilah 'jati bonsor' (jabon) yaitu jenis pohon yang mirip jati dengan kemampuan tumbuh yang sangat cepat. Sehingga tak heran jenis pohon ini cocok sebagai pohon yang kayunya bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kayu seperti plywood maupun industri pulp maupun kertas.

Kemasyuran pohon jabon sebagai salah satu pohon yang bernilai ekonomis tinggi, juga telah diakui oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Zulkifli menilai, harga jual kayu jabon bernilai tinggi sehingga cocok untuk investasi masyarakat.

"Satu kubik pohon jabon sekarang harganya Rp 1,6 juta, kalau harga beberapa tahun lagi, pasti lebih mahal," kata Zulkifli akhir pekan lalu.

Zulkifli mengatakan panen  jabon bisa dipetik dalam waktu hanya 6-7 tahun paling lama. Selain buat investasi, menanam jabon juga bisa menjadi saran mensukseskan program menanam 1 miliar pohon.

"Pohon jabon ini pionir, dimana-mana banyak terutama di Sulawesi, sebagai tanaman endemik," kata Zulkifli.

Sementara itu Pemimpin Pelaksana Balai Pemeliharaan Tanaman Hutan Jawa Madura Acad Sudrajat mengatakan gambaran kasar investasi pohon jabon sangat menggiurkan.

Ia menuturkan modal bibit jabon siap tanam hanya Rp 2.000-2.500. Sementara dengan perhitungan harga satu kubik pohon jabon Rp 1,6 juta dengan setiap pohon jabon umur 6 tahun bisa diperoleh dua kubik, sudah terbayang berapa margin yang diperoleh si investor.

"Bayangkan saja keuntunganya luar biasa dari modal Rp 2.500 per pohon menjadi Rp 3 juta," kata Acad.

Hal ini pun diakui oleh Direktur Pembibitan Kementerian Kehutanan Bejo Santoso, menurutnya setiap kali panen dalam satu hektar bisa diperoleh perputaran uang hingga Rp 500 juta. Tawaran investasi jabon, kini menurutnya sudah menjadi primadona baru untuk investasi.

"Yang menarik, dari hasil tulisan yang ada hingga kini jabon belum ada penyakitnya. Di Jawa sudah banyak penampungnya untuk industri plywood," kata Bejo.

Acad menjelaskan dengan perhitungan jarak penanaman 3x3 meter, maka setiap hektarnya bisa ditanam 400 pohon. Ia menghitung, nilai ekonomis penanaman jabon bisa diperoleh dari penanaman pohon sedikitnya setengah hektar.

"Lahan tergantung milik sendiri, setengah hektar lumayan 200 pohon pun bisa," katanya.

Dikatakannya, pohon jabon memiliki karakteristik tumbuh baik di ketinggian 0-700 meter diatas permukaan laut. Bahkan kata dia lokasi yang baik jabon sangat tumbuh baik di kawasan lembah.

Menurutnya jabon memiliki dua jenis yaitu jabon merah dan jabon putih, dua-duanya memiliki keunggulan masing-masing. Misalnya jabon merah memiliki karakter kayu yang keras sedangkan jabon putih sebaliknya.

Untuk urusan bibit, Acad menuturkan informasi soal bibit bisa diperoleh di pusat-pusat persemaian yang dibangun kementerian kehutanan. Misalnya pusat persemaian Cimanggis, Depok yang berlokasi di Jalan Raya Bogor.

Acad menambahkan, harga bibit saat ini untuk yang sudah disertifikasi (teruji) Rp 14 juta per Kg sementara untuk yang belum bersertifikat hanya Rp 3-4 juta per Kg. Biasanya dari 1 kg bibit jabon bisa didapat 20 juta benih, namun jika sudah disemai biasanya akan efektif tumbuh hanya kurang lebih 2 juta bibit siap tanam.

Ia menghitung dari 1 Kg bibit yang mencapai 2 juta benih siap tanam, maka setidaknya bisa ditampung untuk luasan lahan 5000 hektar. Dengan perhitungan setiap satu hektar bisa ditanam 400 pohon jabon.

Soal pemasaran, menurut Acad penanaman jabon di wilayah Jawa masih menjanjikan dengan wilayah lainnya. Hal ini karena di Jawa banyak bertebaran industri-industri kayu maupun kertas.

"Sekarang di Jawa sudah banyak di Jawa Tengah, Jawa Timur. Bahkan pembeli banyak yang langsung ke kebon dari pihak pabrik maupun bandar kayu. Jabon bisa dipakai untuk bahan baku pabrik kertas, plywood, bahan pertukangan," katanya.

Tela Krezz


Senin, 24/01/2011 08:58 WIB
Tela Krezz, Makanan 'Wong Ndeso' Beromzet Miliaran Rupiah  
Suhendra - detikFinance

Firmansyah (Foto: Suhendra/detikFinance)
Jakarta - Makanan lokal kadang kala tak terlalu banyak dilirik oleh banyak orang sebagai potensi bisnis yang menggiurkan. Namun lain halnya dengan Firmansyah Budi, pendiri Tela Krezz ini, yang sudah sejak tahun 2006 memulai bisnis kemitraan makanan olahan singkong atau ketela (cassava) Tela Krezz (singkong goreng berbumbu).

Kisah Firmansyah membangun bisnis makanan olahan singkong dengan bendera Tela Krezz berawal hanya dari satu grobak pinjaman ibu-nya dengan modal awal Rp 200.000. Dari situ ia mulai memiliki keyakinan bahwa bisnis makanan olahan dari singkong sangat berprospek.

Menurutnya, sangat malu sekali jika Indonesia masih terus mengimpor bahan baku pangan yang memang tak bisa berkembang baik di Indonesia seperti gandum. Saat ini kata dia, Indonesia termasuk negara penghasil singkong terbesar ketiga di dunia dibawah Brazil.

Keyakinannya akhirnya terjawab, sekarang ini ia sudah memiliki ratusan mitra Tela Krezz dengan omset yang menggiurkan. Firmansyah terinspirasi mengangkat pangan singkong menjadi makanan olahan karena saat ini pasar pangan dalam negeri sudah dibanjiri produk pangan impor seperti kedelai, tepung gandum, jagung, dan masih banyak lainnya.

"Ini berawal dari keprihatinan saya, sekarang ini bahan baku makanan semuanya gandum, yang impor. Kenapa tak pakai content lokal," kata Firmansyah kepada detikFinance, akhir pekan lalu.

Firmansyah yang lulusan Sarjana Hukum ini, awalnya tak langsung menceburkan diri ke ranah bisnis. Semenjak lulus kuliah 2004, ia masuk LSM bidang pembangunan komunitas (community development), dari situlah matanya terbelalak soal banyaknya kasus bermasalah TKI diluar negeri yang harusnya bisa dicegah jika ada lapangan kerja di dalam negeri.

"Sekarang saya sudah punya 60 karyawan langsung, belum yang outsourcing," kata Firmansyah yang kini merupakan salah satu dari finalis Wirausaha Mandiri itu.

Semangat inovasinya mengembangkan pangan singkong bukan hanya sebatas Tela Krezz, ia juga mengembangkan produk Tela Cake semacam brownies dari singkong, kue Bika Ambon, Bakpia, Keripik Singkong dan lain-lain.

"Saya mimpinya kedepan, orang bisa aware dengan produk lokal kita, kalau tidak maka kita akan tergusur," katanya.

Menurut pria kelahiran Semarang, 5 Desember 1981 ini, mengolah makanan seperti singkong yang sudah terlanjur dipandang sebagai makanan 'ndeso' memang perlu upaya keras. Konsep makanan Tela ia kembangkan dengan membuat makanan singkong lebih moderen dan menarik.

"Kenapa saya tak mau disebut sebagai brownies, saya ingin dengan nama tela cake. Jadi kalau kita bisa olah dengan moderen dan dinamis, kita bisa ubah mindset makanan wong ndeso ini jadi moderen. Harus diubah mindsetnya, makanan itu kan karena kebiasaan," jelasnya.

Untuk urusan pemasaran, Firmansyah sengaja mengembangkan pemasaran Tela Cake dengan konsep makanan oleh-oleh asli Jogjakarta. Ini penting untuk memperkuat image Tela Cake sebagai makanan khas, meski ia pun berencana memasarkan produk tersebut ke pasar ritel umum namun dengan merek yang berbeda.

Ia mengaku saat ini mampu menjual 1000-1500 paket  Tela Cake. Harga satu paket Tela Cake dibandrol hingga Rp 28.000, tentunya sudah terbayang berapa omset dari Firmansyah dari hanya menjual brownies ala singkong tersebut. Ini belum dihitung dari produk Tela Krezz-nya yang lebih dahulu ia kembangkan.

Masih seputar pangan lokal, upaya Firmansyah tak cukup disitu. Pada tahun 2009 ia juga mengembangkan produk olahan cocoa atau kakao menjadi makanan coklat yang lezat dan menarik. Kali ini, Firmansyah membentuk divisi khusus di Tela Corporation yang menjadi bendera resmi usahanya.

"Mulai 2009 saya juga membuat produk coklat roso (cokro), yang juga berkonsep makanan oleh-oleh Jogjakarta," jelasnya.

Keinginannya mengembangkan produk coklat, kurang lebih sama dengan kegusarannya terhadap produk tepung pangan impor. Menurutnya Indonesia, merupakan penghasil kakao yang diperhitungkan di dunia, namun minim memiliki produk olahan coklat.

Jika pun ada, produk coklat olahan di pasar Indonesia berasal dari impor dan bermerek asing. Ia berharap coklat buatannya bisa menjadi pilihan pasar dan bisa mematahkan dominasi produk coklat asing di pasar Indonesia.

"Visi saya bagaimana melakukan pemberdayaan pangan lokal," katanya.

Sehingga kata dia, dengan pemberdayaan pangan lokal serapan tenaga kerja lokal semakin tinggi misalnya jika singkong dikembangkan maka berapa banyak petani yang bisa hidup, berapa banyak kuli panggul yang bekerja, berapa banyak pekerja pemotong singkong yang terserap dan lain-lain. Meskipun dengan idealisme yang tinggi, Firmansyah tak gigit jari, usahanya yang dirintis sejak 2006 sudah membuahkan hasil yang fantastis.

"Kalau dihitung-hitung omset saya sampai ratusan juta per bulan. Setahun bisa sampai Rp 10 miliar lebih," katanya.

Bagaimana mau mencoba dengan pangan-pangan lokal lainnya?
Firmansyah Budi

Jl. Bugisan 36, Patangpuluhan, Wirobrajan, Yogyakarta 55251
Email: homygroup@yahoo.com

Biz Coklat


Rabu, 23/03/2011 08:52 WIB
Sukses Mewarisi Bisnis Coklat Keluarga Beromset Miliaran  
Suhendra - detikFinance

Farida Ariyani (Foto: Suhendra)
Jakarta - Banyak orang harus bingung memulai usaha apa yang cocok buat dirinya. Padahal seringkali orang tak sadar, justru usaha orang tua semasa kecil bisa menjadi inspirasi bisnis saat ini dan layak diteruskan.

Hal ini lah yang dialami oleh Farida Ariyani. Sang pemilik Vanssa Chocolate (Vanssa) ini memulai bisnis produk olahan coklat karena sudah kenyang menimba pengalaman dari nenek dan ibunya dalam hal membuat produk olahan coklat.

Nama Vanssa kini kian mantap menjadi salah satu produk kemasan coklat lokal yang diperhitungkan di pasar dalam negeri. Padahal awalnya Vanssa harus bersusah payah menembus pasar karena bersaing ketat dengan produk-produk coklat impor.

"Faktor lingkungan dari orang tua, sejak kecil saya sudah tahu soal coklat dan permen. Saya menguasai betul, dari nenek, saya belajar  coklat," kata Farida kepadadetikFinance, Selasa (22/3/2011).

Farida mengaku meski mendapat warisan pengetahuan membuat coklat dari orang tuanya, ia tak puas begitu saja. Ia memutuskan menggali ilmu cara membuat coklat secara moderen di pusat penelitian kakao dan coklat di Jember, Jawa Timur.

"Saya terus melakukan inovasi produk, sampai tahun 2001 lalu saya perkenalkan merek Vanssa," katanya.

Produk Vanssa yang ia produksi awalnya tak mudah menembus pasar ritel moderen. Ia coba perkenalkan produknya mulai dari teman-temannya hingga ke toko-toko kecil di sekitar rumahnya.

Sebagai generasi terdidik, Farida juga  sadar bahwa produk coklatnya memiliki karakter khas, sehingga ia harus bersusah-susah mengurus hak paten, sertfikasi halal dan lain-lain demi kelangsungan bisnis coklatnya.

"Saya punya prinsip terus berjuang mencari dan mencari , tak lelah-lelahnya belajar, bagaimana produk kita percaya diri, bukan saya tapi produknya yang percaya diri," katanya.

Kini Vanssa sudah tersebar ke beberapa pasar lokal seperti Surabaya, Sidoardjo, Gresik, Jakarta, Jogjakarta, Kendari, Batam, Bali, Balikpapan. Bahkan produk Vanssa sudah menembus pasar ekspor di Jeddah sebagai oleh-oleh biro perjalanan haji.

Farida menambahkan membuat produk coklat memerlukan edukasi ke pasar. Selama ini coklat dituding sebagai biangkeladi untuk urusan menambah berat badan dan pembuat lubang di gigi.

"Kalau orang habis makan coklat, tak gosok gigi, yah bisa bikin lubang gigi," katanya.

Untuk urusan ini, Farida sangat konsen dalam menentukan komposisi bahan baku seperti penggunaan lemak sehat yang tidak menimbulkan  kolesterol. Selain itu, ia menggunakan gula khusus sehingga aman bagi penderita diabetes dan siapa saja.

Vanssa sendiri, lanjut Farida dikemas dengan satuan kemasan kecil-kecil sehingga produk coklat aman dari kontaminasi udara atau unsur lainnya yang bisa membuat coklat rusak.  Ia optimis, mengembangkan bisnis coklat sangat lah menjanjikan, apalagi dengan pendekatan inovasi.

"Coklat itu kompetitornya nggak banyak, saya sudah bergelut coklat sejak dari kebon hingga proses produksi," katanya.

Sebagai produk coklat asli lokal, Farida mengatakan Vanssa sempat dipandang sebelah mata. Banyak masyarakat memandang produk coklat impor lebih bagus dari produk coklat lokal, padahal yang terpenting adalah kualitas dan rasa.

"Orang Indonesia melihat sebelah mata coklat lokal, mereka lebih bangga dengan coklat impor," katanya.

Menurutnya, coklat buatannya mampu bersaing dengan coklat impor yang sudah banyak beredar di pasar. Dalam urusan harga, ia berani jamin produk coklat olahan lokal bisa bersaing, misalnya Vanssa dijual mulai dari Rp 6.500 sampai Rp 40.000.

"Saya patut akui segmen produk coklat memang  segmen market moderen, menengah  keatas, kalau pasar tradisional nggak laku, dari sisi harga," katanya.

Farida mengatakan, ia membuka kesempatan bermitra dengan siapapun yang ingin sukses menggeluti bisnis coklat, termasuk dalam hal pemasaran dan suplai bahan baku. Kini bisnis coklatnya terus tumbuh hingga 10-20% setiap bulannya.

Produk coklat Vanssa rata-rata terjual  100 kg per hari, atau 2-3 ton per bulan. Bahan baku yang ia pakai semuanya dari lokal, yaitu 40% dari Jawa dan 60% luar Jawa.

"Omset rata-rata  Rp 100-150 juta per bulan," katanya.
Vanssa Chocolate
Farida Ariyani
Delta Sari Indah AX 17 Waru, Sidoarjo, Jawa Timur
Email: farida_ariyani12@yahoo.co.id.